Mengenai Saya

Foto saya
bukan kurangnya pengetahuan yang menghalangi keberhasilan, tetapi tidak cukupnya tindakan, dan bukan kurang cerdasnya pemikiran yang melambatkan hidup ini, tetapi kurangnya penggunaan dari pikiran dan kecerdasan.

Kamis, 16 Agustus 2012

BUYU’ MUSTADATSAH (JUAL BELI KONTEMPORER)


Manusia berkarakter dasar sebagai makhluk sosial dan berperadaban yang membutuhkan pergaulan sosial yang tentunya membawa konsekuensi adanya transaksi muamalah serta pertukaran barang dan jasa dimana jenis-jenis dari transaksi baik dari system maupun medianya mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi kebutuhan manusia. Hal ini memerlukan prinsip-prinsip juridis samawi yang mengatur semuanya itu agar sesuai dengan sunnatullah, keharmonisan dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip syariah dalam masalah pertukaran dan kontrak muamalah yang dapat digunakan untuk melakukan tinjauan hukum atas setiap transaksi sepanjang zaman termasuk era modern untuk kemaslahatan semua pihak sebagaimana dirumuskan para ulama sebagai berikut[1]:
1.      Asas kerelaan dari semua pihak yang terkait (‘An Taradhin).
2.      Larangan praktik penipuan, kecurangan dan pemalsuan. Hal ini termasuk memakan harta orang lain secara batil maka transaksinya batal demi hokum.
3.      Tradisi, prosedur, sistem, konvensi, norma, kelaziman dan kebiasaan bisnis yang berlaku (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah seperti praktik riba dan spekulasi merupakan asas pengikat dan komitmen transaksi bisnis dan perdagangan.
4.      Berdasarkan niat dan itikad yang baik serta menghindarkan kelicikan dan akal-akalan (moral hazard) dengan mencari celah hukum dan ketentuan yang seharusnya.
5.      Deal (kesepakatan) transaksi dilangsungkan dengan serius, konsekuen, komit dan konsisten, tidak boleh main-main dan mencla-mencle, sebab menurut Nabi saw umat Islam itu terikat dengan perjanjian dan kesepakatan yang mereka lakukan.
6.      Transaksi harus berdasarkan prinsip keadilan dan toleransi.
7.      Tidak dibolehkan melakukan transaksi dengan cara, media dan objek transaksi yang diharamkan Islam baik barang maupun jasa seperti; riba (bunga), menimbun, ketidakpastian objek transaksi (gharar), makan dan minuman haram, segala hal yang menjurus pelanggaran moral.
Selain itu, selama transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah maka ketentuan Islam berlaku fleksibel, dinamis dan inovatif dalam hal muamalat karena Allah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya yang diberi mandat dan kebebasan untuk melakukan pemakmuran bumi dengan mengikuti petunjuk-Nya.

Beberapa contoh buyu’ mustadatsah sebagai berikut:

       I.            MLM (Multi Level Marketing) 
1)      Pengertian[2]
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah) yang kemudian masing-masing level tersebut mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan.
2)      Perspektif Islam
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur MAGHRIB  yang disebut sebelumnya. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian,  MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.[3]
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. [4]
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini.[5]
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
3)      Insentif dan penghargaan[6]
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif.
Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun” (hadist).
Insentif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Insentif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja.
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus). Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. MLM yang Islami senantiasa berpedoman pada akhlak Islam.[7]
4)      Syarat agar MLM menjadi syari’ah[8]
a.       Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
b.      Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
c.       Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
d.      Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
e.       Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
f.       Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
g.      Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
h.      Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir.
i.        Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
j.        Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
k.      Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
l.        Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.

   II.            E-commerce
1)      Pengertian e-commerce
Dalam buku applied Islamic dikatakan bahwa[9]:
“E-commerce refers to the general exchange of goods and services via internet. It can also be explained as an act of conducting bussiness online, and may include buying and selling products with digital cash and via electronic data interchange”
Selain itu e-commerce juga dapat didefinisikan sebagai suatu media transaksi bisnis baik berupa jual-beli ataupun lainnya melalui suatu jaringan internet yang mempermudah pengguna (masnusia) untuk bertransaksi jarak jauh dengan waktu yang lebih singkat dan dengan cara yang lebih sederhana.
2)      E-commerce Perspektif Islam[10]

Bila dilihat dari sistemnya serta prinsip operasionalnya, maka E-commerce atau E-business menurut kacamata fiqih kontemporer sebenarnya merupakan alat, media, metode teknis ataupun sarana (wasilah) yang dalam kaidah syariah bersifat fleksibel, dinamis dan variabel. Hal ini termasuk dalam kategori umuriddunya (persoalan teknis keduniawian) yang Rasulullah pasrahkan sepenuhnya selama dalam koridor syariah kepada umat Islam untuk menguasai dan memanfaatkannya demi kemakmuran bersama. Namun dalam hal ini ada yang tidak boleh berubah atau bersifat konstan dan prinsipil yakni prinsip-prinsip syariah dalam muamalah tersebut di atas yang tidak boleh dilanggar dalam mengikuti perkembangan. Menurut kaidah fiqih bahwa prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan persyaratannya yang terkait dengannya adalah boleh selama tidak dilarang oleh syariah atau bertentangan dengan dalil (nash) syariah.
Oleh karena itu hukum transaksi dengan menggunakan media E-commerce adalah boleh berdasarkan prinsip mashlahah karena kebutuhan manusia akan kemajuan teknologi ini dengan berusaha memperbaiki dan menghindari kelemahan dan penyimpangan teknis maupun syariah sebab tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme yang dibuat manusia tidak luput dari kelemahan dan selama masih relatif aman dan didukung oleh upaya-upaya pengaman hal itu dapat ditolerir. (berdasarkan prinsip toleransi syariah dalam muamalah dan kaidah fiqih: Adh-Dhararu Yuzal/Mudarat harus dihilangkan)
Mengenai teknis operasionalnya dikembalikan kepada kelaziman, tradisi, prosedur dan sistem (‘urf) yang konvensinya berlaku termasuk dalam implementasi ijab dan qabul dalam jual-beli, serta tidak harus dilakukan dengan mengucapkan kata atau bertemu fisik, tetapi bersifat fleksibel dengan meng-klik atau meng-enter pilihan tertentu pada cyberspace yang kemudian dilakukan penyelesaian pembayaran dengan cara dan media teknologi apapun dapat dianggap sah selama memenuhi kriteria dan persyaratan syariah dalam transaksi untuk selanjutnya masing-masing pihak komitmen untuk memenuhi kewajibannya masing-masing sesuai kesepakatan (QS.An-Maidah:1).

III.            Waralaba (franchise)
1)      Pengertian
Menurut pasal 1 PP No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (franchisee) adalah : “perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa”.[12]
Selain itu,  Waralaba juga didefinisikan sebagai hak istimewa (privilege) yang terjaliin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran.[13]
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa waralaba adalah suatu jenis kerja sama dalam bidang modal dan penggunaan atas nama baik dengan memberkan standar serta kualitas dari nama baik tersebut yang diberikan dari pemberi modal kepada penerima waralaba.
2)      Jenis-jenis waralaba[14]
Pada umumnya, waralaba dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
a)      Distributorships (product frinchise)
Dalam waralaba ini franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menjual barang-barang hasil produksinya.
b)      Chain-style Business
jenis waralaba inilah yang paling banyak dikenal masyarakat. Dalam jenis ini, franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada di bawah pengawasan franchisor dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, design tempat usaha, jam penjualan, persyaratan karyawan dan lain-lain.
c)      Manufacturing atau processing plants
Dalam waralaba jenis ini, franchisor memberitahukan bahan-bahan serta tata cara pembuatan suatu produk, termasuk  didalamnya formula-formula rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan barang-barang itu sesuai standar yang telah ditetapkan franchisor.
3)      Waralaba perpektif islam[15]
Kalau dalam hukum Islam, waralaba dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil), tapi sudah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman dan terdapat gabungan dengan jenis syirkah lainnya. Syirkah (persekutuan) dalam hukum Islam banyak sekali jenisnya dan terdapat perbedaan oleh para imam madzhab. Dan perlu diketahui bahwa dalam pola transaksi yang diatur oleh hukum Islam adalah menitikberatkan pada sisi moralitas yang lebih tinggi dari pada apapun.
Untuk menciptakan system bisnis waralaba yang islami, diperlukan system nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis. Filter tersebut adalah dengan komitmen menjauhi MAGHRIB (maysir, asusila, gharar, haram, riba, ikhtikar, bathil)
Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam. Terdapat beberapa indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar sistem transaksi franchising ini diperbolehkan oleh hukum Islam yang telah ada khususnya syirkah. Terdapat beberapa indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar sistem transaksi franchising ini diperbolehkan oleh hukum Islam,
4)      Analisa Perbandingan[16]
Suatu waralaba adalah bentuk perjanjian kerja sama (syirkah) yang sisinya memberikan hak dan wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbal balik. Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchising di atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchising menurut hukum Islam dan hukum positif.
Persamaannya adalah Pertama, franchising adalah kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchising memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum Islam. Kedua, terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Ketiga, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi.
Jika dilihat,  franchising lebih hampir serupa dengan syirkah jenis mudharabah. Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang, tidak boleh barang. Sedangkan dalam franchising modal dapat dibantu oleh franchisor baik uang, barang atau tenaga professional. Kedua, dalam franchising terdapat kerja sama dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam hukum Islam hal tersebut termasuk syirkah amlak (hak milik). Ketiga, tidak bolehnya kerja sama dalam hal berjualan barang haram, sedangkan dalam hukum positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal transaksi jual-beli barang najis dan memabukkan, seperti babi dan miras.
Dengan demikian waralaba (franchising) dapat dikategorikan ke dalam perkembangan syirkah mudharabah jenis muqayadah dimana pihak penerima waralaba (franchisee) terikat oleh peraturan-peraturan yang diberikan oleh pemberi waralaba dan atau masuk ke dalam jenis syirkah al-wujuh atas pemberian hak milik atau HAKI ke dalam transaksi . Akan tetapi yang menjadi catatan disini, meskipun franchising ini diperbolehkan dengan alasan perkembangan syirkah, dalam waralaba harus mengikuti prinsip dasar transaksi dalam hukum Islam dan barang yang dibuat untuk transaksi tidak bertentangan dengan syara’ atau obyek yang diharamkan untuk diperjualbelikan dalam Islam.
Kesimpulan
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam memberi peluang berkembangnya pemikiran umat Islam dalam menghadapi segala persoalan di era globalisasi. Berbagai jenis transaksi mulai muncul guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak jenis transaksi bisnis baru yang menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara yang mudah dan simple seperti e-commerce, waralaba dan multilevel markrting. Berbagai jenis transaksi baru tersebut pada dasaranya dibolehkan menurut islam, hanya saja ada bebarapa proses atau system yang membatasi atau mengatur agar bisnis tersebut sesuai dengan ketentuan syariah islam.


[1] Search at google: http// e-commerce//
[2] Search at google:http//Multilevel markrting//
[3]Search at google: //MLM…(Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
[4] Search at google: http//MLM perpektif islam ..(lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)

[5] Search at google: http//MLM perpektif islam..(lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, III, hlm 159)
[6] Search at google: http//MLM perspektif islam//
[7]Search @google: http//MLM perpektif Islam/… (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002)
[8] Ibid.
[9] Thomson, Applied Islamic e-commerce; Law and Practice, (Malaysia: Sweet and Maxwell Asia, 2008), hlm. 57
[10] Search at google: http//e-commerce perpektif Islam//
[11] Adrian Sutedi, Hukum Waralana, (Bogor: GHALIA Indonesia Amggota IKAPI, 2008), hlm. 6
[12] Search at google: http//waralaba//
[13] Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor: GHALIA Indonesia Anggota IKAPI, 2008), hlm. 6
[14] Ibid. hlm 14-15
[15] Search at google: //waralaba perpektif Islam//
[16] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar