Mengenai Saya

Foto saya
bukan kurangnya pengetahuan yang menghalangi keberhasilan, tetapi tidak cukupnya tindakan, dan bukan kurang cerdasnya pemikiran yang melambatkan hidup ini, tetapi kurangnya penggunaan dari pikiran dan kecerdasan.

Selasa, 25 Januari 2011

Rahn (gadai) dan Aplikasinya



Pengertian
Rahn secara bahasa :    والدوام الثبوت yang artinya : tetap dan lestari. Juga berarti  واللزوم الحبس, yang artinya : penahanan dan pasti.[1] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) :  283.
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.[2]        
Menurut syariat islam, gadai dalam syariat islam berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan utang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut.[3]

Rukun-rukun gadai
Unsur atau rukun rahn menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada 4 : Rahin (pemilik barang), murtahin (pemegang barang), marhun atau rahn (barang gadaian), marhun bih (utang).[6]
Adapun rukun Rahn menurut madzhab Hanafi adalah : ijab qabul dari rahin dan murtahin, sebagaimana di setiap transaksi yang lain. Akan tetapi tidak sempurnanya dan terlaksana kecuali dengan Qabdh, yaitu perpindahan barang gadai dan hutang, misalnya rahin berkata : saya gadaikan barang ini dengan apa yang anda miliki sebagai utang (saya), dan murtahin berkata : saya terima, atau saya ridho, dsb.[7]
Syarat Sah Gadai
Syarat sah akad gadai diantaranya sebagai berikut:
·         Berakal.
·         Baligh.
·         Barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
·         Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang (murtahin) atau wakilnya.
Imam syafi’i melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima.  Apabila criteria tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan menyerahkan barang  jaminan untuk dikuasai debitor (murtahin). Barang jaminan jika sudah berada ditangan debitor, ia berhak memanfaatkan barang tersebut. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakan “hak pemanfaatan atas barang jaminan hanya boleh selama tidak merugikan debitor”[8]
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Debitor (Murtahin)[9]
Akad gadai dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizzinkan oleh kreditor (raahin). Memanfaatkan barang gadaiaan tak ubahnya seperti qiradh yang menguntungkan dan setiap bentuk qiradh yang menguntungkan adalah riba. Hal tersebut berlaku apabila barang bukan berbentuk binatang tunggangan atau binatang ternak yang bisa diperah susunya.
Jika barang jaminan berupa binatang ternak, maka debitor boleh memanfaatkannya sebagai ganti pemberian makanan binatang tersebut. Juga, dibolehkan memanfaatkan binatang tunggangan seperti unta, kuda, keledai dan binatang lainnya. Debitor juga dibolehkan mengambil susu dari hewan sapi, kambing dan lainnya.
 Berakhirnya Akad Rahn[10]

Akad gadai akan berakhir dengan cara pembebasan, hibah atau pelunasan hutang sebagaimana yang akan diungkapkan sebagai berikut ;
·         Penyerahan marhun kepada pemiliknya.
·         Pelunasan utang semuanya.
·         Menjual secara paksa yang dilakukan rahin dengan  perintah qadhi atau dilakukan qadhi jika rahin  enggan. Kalau marhun dijual maka utang dilunasi dengan harganya maka habislah akad gadai.
·         Pembebasan utang dengan apapun sebabnya.
·         Pembatalan gadai oleh murtahin walaupun tanpa rahinkarena itu haknya dan gadai dari satu sisi bukan akad lazim.
·         Malikiyah mengadakan gadai batal sebelum dipegangnya (marhun) dengan meninggalnya rahin atau bangkrutnya.
·         Rusak atau matinya marhun.
·         Adanya transaksi lain atas marhun.
 Konsekuensi dari syarat-syarat Rahn dan Apa yang diperbolehkan dan Tidak diperbolehkan[1]
Beberapa hal yang perlu dijelaskan dari konsekuensi syarat-syarat rahn, diantaranya :
·         Menggadaikan Musya’ (barang yang masih tercampur dengan hak orang lain).
Adapun perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan penggadaian musya’, seperti separoh, seperempat, sepertiganya. Hanabilah melarang, sedangkan jummhur ulama membolehkan. Yang menjadi faktor perbedaan ini adalah apakah pencakupan musya’, sesuatu yang mungkin atau tidak Menggadaikan harta yang terkait dengan harta yang lain, dan yang masih diambil manfaatnya.
Hanafiyah berpendapat : tidak dibenarkan menggadaikan sesuatu yang terkait dengan sessuatu yang tidak digadaikan, seperti menggadaikan buah-buahan yang masih berada dipohon.
·         Menggadaikan utang piutang.
Malikiyah membolehkan penggadaian utang, sedangkan hanafiyah berpendapat tidak boleh karena utang tidak termasuk harta. Menurut mereka harta adalah yang berbentuk benda.
·         Menggadaikan benda yang sedang disewakan atau dipinjamkan.
Hanafiyah berpendapat : diperbolehkan manggadaikan barang yang dipinjamkan dan disewakan kepada penyewa atau peminjam, dan qabdh terdahulu menggantikan qabdh rahn.
·         Menggadaikan harta milik orang lain.
Seseorang dilarang menggadaikan harta milik orang lain kecualai dengan pemberian izin, jika ia tidak memiliki wewenang untuk menggadaikan, lalu menjadikannya sebagai marhun ditangan murtahin, maka ia terhitung telah melakukan pelanggaran atau perampasan.


[1] Ibid hlm. 50-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar